Menggugat mahasiswa upi 2021 menggugat? — Ospek siapa yang lebih parah?

Raihan Nur Yaqin
5 min readSep 4, 2021

--

Foto Instagram Mahasiswa UPI 2021 Mengugat

Cukup shock sejak awal, waktu hari pertama ikut MOKAKU UPI 2018 di kampus UPI Tasikmalaya. Kebetulan hari itu baru berangkat pagi dari Kuningan jam 6 pagi. Nyampe di tasik jam 9, sedangkan acara mulai jam 6 pagi kalau ga salah. Persiapan beberapa perlengkapan di kosan, akhirnya sampe di kampus jam 10. Tanpa konfirmasi , langsung aja masuk ke barisan sektor yang mau masuk aula. Pas datang muka temen-temen sama mentor sektor tiba-tiba berubah jadi kaya heran, cemas, khawatir. Sambil berjalan waktu, ternyata yang lain pagi tadi ada pengecekan kelengkapan dan ketepatan barang, juga presensi kehadiran sama komdis. Baru tau tuh komdis itu yang kaya gimana pas makan siang. Pas mereka masuk, seisi ruangan tegang, panitia beberapa disuruh keluar. Siang itu dibahas beberapa masalah, soal yang ngantuk waktu pematerian jangan ngobrol, dan lain-lain yang berkaitan sama kesalahan peserta. Lanjut pematerian, sampe akhirnya udah waktunya pulang, tapi sebelum itu kita ada semacam evaluasi dari komdis. dibahas semua kesalahan hari itu dari hulu ke hilir. Peserta dibuat seolah melakukan pembelaan atas kesalahannya dan saling membantu satu sama lain dengan beragumentasi. Pertanyaan terakhir yang dilontarin “siapa yang hari ini melakukan kesalahan? silakan jujur.”. Karena saya ngerasa kalau saya telat ya saya angkat tangan dan mengakui serta menjabarkan alasannya secara kronologis. Setelah itu semua pulang, tapi saya tertahan karena pagi tadi belum melakukan pengecekan. Untungnya waktu itu semua kelengkapan sesuai.

Selama 4 hari meskipun rangakain acara dan materi beda, tapi rutinitas itu kurang lebih sama yang setiap harinya harus datang 15 menit lebih pagi. Mulai berkumpul, kumpul dengan sektor memastikan tidak ada yang salah, pengecekan +evaluasi pagi, materi, evaluasi siang, materi, evaluasi sore, dan yang terakhir kumpul lagi dengan sektor untuk menyiapkan kelengkapan untuk hari berikutnya hingga larut malam. Keluhan bertebaran setiap harinya, bahkan ada peserta mengajak panitia duel fisik saking drama evaluasi-evaluasian itu “basi”. Komdis marah-marah, peserta bela-belaan, panitia beberapa kali seolah-olah membela peserta di depan komdis. Menguras emosi, ada marah, takut, nangis, bahkan sampe ada yang histeris dan atau kesurupan. Gitu terus dramanya, sampe ke drama puncak, yang kebanyakan dari kita juga udah tau endingnya bahwa keputusannya ada peserta yang tidak lulus. Terlepas dari sebenernya apa parameter kelulusannya, drama lulus ga lulus ini jadi gong dari rangkaian semua acara. Panitia mengumumkan kelulusan, komdis datang membatalkan kelulusan, peserta protes, panitia dan mentor diusir, mentor nangis, peserta ada yang sedih kecewa kesurupan dan ngejar, komdis bilang peserta mengecewakan, peserta lobbying dengan panitia dan komdis, tunggu beberapa saat, SURPIZE, kalian semua lulus dengan syarat, komdis balik ke persona asli, bersalaman dan happy ending.

Dokumentasi MOKAKU UPI 2018

Di hari-hari itu kita lelah, marah. Sumpah serapah kita mengutuk drama dan ketidakmasukakalan yang ada. Hari ini apa? kita sendiri yang melakukan yang mengerjakan sesuatu yang kita tentang itu, sesuatu yang kita rasa itu sesuatu yang sudah tidak relevan lagi. Dengan segala kebencian yang ada hari itu, nyatanya hari ini benda itu masih ada, dan tetap digunakan dalam “mendidik” mentalitas mahasiswa.

Photo by Jerry Zhang on Unsplash

Dengan metode yang ada, sebenernya bingung apa tujuan “pembelajaran” ospek dari tahun ke tahun, yang mungkin kita tau sejauh ini gitu-gitu aja. Terlepas dari ospek jurusan fakultas atau jurusan, nilai apa yang mau di tanamkan. Capaian apa yang diharapakan?. Indikator ketercapaiannya apa?. Yang kita ya metodenya itu-itu aja. kalaupun berubah, paling beberapa modifikasi kecil, yang kadang kita juga ga sadar ada yang berubah.

Petisi Mahasiswa UPI 2021 Menggugat

Menyoal tentang “Mahasiswa UPI 2021 menggugat”. Hari ini terpantau postingan di Instagram sudah mencapai 18.000 likes dan 20.900 komentar, juga 375 dukungan di change.org. Diluar apapun motif dibaliknya, menurut saya itu bisa jadi langkah perubahan yang cukup kritis yang bisa menggugat status quo yang ada, karena memberikan antitesis yang mencoba mempertanyakan kembali . Ada yang mendukung, namun disisi lain gugatan itu digugat balik dengan beragam respon :

Baru gitu doang wkwkwk duh letoy amat bosss

Ospek online kok ngeluh, noh bapak emak lo kerja mati matian buaat biayain pendidikan lo😂

Maba maba sampah

Petasa petisi petasa petisi, kalo ga sanggup kagak usah kuliah KXXXXL, dah gede tapi pemikiran kayak bocah SD, Maba KXXXXL

apansi, adek adek nya mungkin gatau ya, panitia nya rapat sampe jam berapa, nyusun KG, bikin Rundown, bikin teknis detail, nyari duit biar acara berjalan. Ini gk seberapa kalo kalian udah masuk kuliah.

Daaaan banyak lagi ungkapan dengan nada serupa, yang kurang lebih menyatakan “Kami juga dulu kaya gitu, bahkan lebih parah” “Mentalitasnya belum jadi mahasiswa” “Itu bakal berguna bagi kalian kedepannya” “Hargain jerih payah panitia”. Saya rasa ada benernya kalau ospek-ospek dengan metode konvesional itu pasti ada manfaatnya. Tapi kita perlu tau bahwa setiap sesuatu ada costnya, ada pengorbananannya. Mulai dari waktu, tenaga, uang, fisik, mental dan lainnya yang perlu dikorbankan.

Photo by Leon on Unsplash

Sebenernya ilustrasi penyelesaian polemik ini sederhana. Kira-kira gimana caranya mindahin/manfaatin cost yang ada ke aktivitas/kegiatan yang benefitnya sebanding. Apa cost yang dikeluarin buat ospek sekarang sebanding sama benefitnya? nah itu pertnyaannya. Jadi kita mesti kembali berhitung, apa tujuan pembelajarannya?, apa aja capainnya?, apa indikatornya?, dan yang terakhir metode apa yang diperluin?. Nantinya bisa mengusahakan benefit yang diterima sama panitia dan peserta itu sebanding, bener-bener worth. Jadi ospek itu bukan sekedar pelestarian budaya, yang kebanyakan budaya “kolonial”,tapi ospek jadi sarana penanaman value+identitas kampus, juga stimulan pengembangan skill yang kedepannya bakal diperluin di era digital ini. Skill yang diperluin di abad 21 ini, kaya hasil riset yang dilakuin sama OECD ini tentang 21st Century Skills: Learning for Life in Our Times.

Photo by Craig Sybert on Unsplash

Kalau dipaksain dan harus ngejalanin ospek pada umumnya, nyaman ga nyaman, terima ga terima, siapapun pasti bisa kayanya, yang penting bisa patuh sama bertahan. Silakan aja kalau ngerasa dulu lebih parah, sekarang ga seberapa. Yang jelas ospek dari tahun ke tahun semestinya bukan jadi ajang lomba kuat-kuatan dijajah. Tapi tentang apa yang mau pelajarin, benefit apa yang sama acara mau tawarin, jadi pengorbanan yang nanti bakal dilakuin jadi layak, walaupun gaakan pernah ada yang sempurna.

#DeepestInsideOpinion

--

--

Raihan Nur Yaqin
Raihan Nur Yaqin

Written by Raihan Nur Yaqin

I explore personal and emotional themes, depicting my experiences and human reflections in my works. Hello everyone, let's get to know each other.